Kangen Jogja

Tidak terasa sudah hampir 9 bulan saya meninggalkan kota kelahiran saya, Yogyakarta. Kota yang menurut saya paling nyaman untuk ditinggali (mungkin) di Indonesia. Saya lahir dan besar di kota yang menjujung tinggi toleransi dan menghargai kemajemukan. Kedua hal itu sangat membuat saya berpikiran terbuka. Yogyakarta banyak memberi saya kenangan, baik kenangan manis maupun pahit. Semuanya masih terekam di memori saya dengan baik. Hal ini yang membuat saya seringkali kangen untuk kembali lagi ke kota ini. Saya merasa sangat bangga menjadi bagian dari kota yang disebut sebagai daerah istimewa ini.

Beberapa waktu yang lalu ketika saya di Jakarta, saya bertemu dengan teman-teman saya. Walaupun tidak di Yogyakarta, pertemuan ini membuat rasa kangen tersebut sedikit terobati. Menceritakan kisah masa lalu, kabar teman-teman yang lain, ngobrol ngalor-ngidul sambil menikmati potongan roti yang ada di hadapan kami membuat kami merasa kami sedang berada di 'homebase' kami, Yogyakarta. Masuk ke pembicaraan yang lebih dalam, saya mendengar satu per satu teman bercerita mengenai keinginannya untuk kembali ke Yogyakarta. Semua mempunyai cita-cita yang sama: Hidup, beraktivitas, membangun sebuah komunitas kecil yang disebut keluarga di kota ini. Ketika saya kembali ke Pontianak - tempat dimana saya bekerja sekarang - hampir semua teman-teman kantor saya yang pernah tinggal di Yogyakarta sangat merindukan untuk bisa tinggal di sana. Dari semua cerita ini, saya tertegun dan berpikir alangkah luar biasa kota ini. Semua orang yang pernah tinggal di sana memiliki kenangan dan cerita tersendiri dan membuat mereka terkesan dan ingin tinggal di sana untuk membuat kenangan-kenangan baru. Jogja memang istimewa.

Cerita ini membuat saya menemukan sebuah kesimpulan: pekerjaanlah yang akhirnya membuat kami akhir dengan berat hati meninggalkan 'Kota Pelajar' ini. Menurut saya, inilah PR (Pekerjaan Rumah) Pemerintah Provinsi Yogyakarta. Kota ini mempunyai banyak 'putra daerah' yang berpotensi tetapi tidak banyak industri di Yogyakarta yang dapat menyerap dan membuat mereka berkontribusi. Selain karena terbatasnya lapangan pekerjaan (atau mungkin kurangnya publikasi terhadap lapangan pekerjaan yang ada di Yogyakarta), gaji juga menjadi masalah yang utama bagi mereka. Rata-rata, teman-teman saya memilih pekerjaan di luar kota Yogyakarta karena gaji yang ditawarkan lebih besar, selain karena tidak banyaknya lowongan pekerjaan yang ada di Yogyakarta. Memang biaya hidup di Yogyakarta tergolong cukup rendah. Bahkan menurut saya sangat rendah. Hal inilah yang menyebabkan upah minimumnya juga rendah. Kami sangat menyadari hal tersebut. Namun, untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik, kami juga memerlukan pendapatan yang lebih besar. Kok lama-lama jadi ngelantur gini, ya? He he he.

Intinya, saya kangen Yogyakarta, kota yang sudah memberikan saya banyak hal sampai saya bisa seperti sekarang ini. Terima kasih, Yogyakarta. Saya akan selalu rindu untuk pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Membuka File Laporan SPT Tahunan dengan Ekstensi XFDL

Mengambil File di Folder Cache Google Chrome Browser pada Windows XP

OSPOS: Aplikasi Kasir Gratis Berbasis Open Source untuk UMKM

Apartemen Murah di Singapura

Cara Attach File pada File PDF

Cozy Copy 24: Sarana Mencetak yang Murah dan Sewaktu-waktu

"Waiting to Join" BBM Grup yang Mengganggu

70 tahun Indonesia Merdeka

Masalah OS Mikrotik Versi 5.11 pada RB450G

Ide Bisnis #1: Berbisnis dari Software Open Source